SEJARAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA




SEJARAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA Pada artikel kali ini kami akan mencoba mengulas tentang bagaimana Sejarah Pendidikan Di Indonesia. Sebenarnya kalau dilihat secara sejarah atau nilai Historis bahwa pendidikan di Indonesia ini telah mengalami berbagai proses semenjak era dimulainya peradaban Nusantara. Demikian pula dengan zaman era kolonial walaupun ketika itu pendidikan formal di masa kolonial bisa dibilang cukup terlambat atau tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Di Indonesia memang untuk masalah pendidikan kurang beruntung karena dijajah Belanda dan Jepang. Akan tetapi bukan pula berarti bahwa pendidikan di era kolonial belanda ini sangat menggantungkan pada penjajah. Tapi kenyataannya, banyak lembaga pendidikan formal maupun non formal yang pada akhirnya secara swadaya diusahakan oleh pribumi. Kita sebenarnya dapat melihat keberadaan taman siswa, muhammadiyah, al irsyad, maupun nahdlatul ulama.

Hal ini sebenarnya telah membuktikan bahwa sesungguhnya semangat bangsa Indonesia sendiri untuk menjadi warga negara-dunia yang terpelajar dan berpengetahuan sungguh sangatlah besar. Amat disadari pula, bahwa dengan hanya pendidikanlah bangsa Indonesia diharapkan dapat merebut kemerdekaan, menata negara dan mewujudkan cita-cita bersama. Kebodohan dan keterbelakangan sudah terbukti merupakan sasaran empuk bagi munculnya penjajahan, penindasan dan perilaku yang tidak berprikemanusiaan dan tidak beradab.

Sampai sekarang ini mengenai issu pendidikan masih mendapat porsi wacana yang cukup besar diperbincangkan oleh warga bangsa Indonesia sendiri. Karena hal ini tentu adalah merupakan implikasi dari keinginan yang dinamis seluruh warga bangsa untuk senantiasa menginginkan pelaksanaan pendidikan dapat mewujud dalam cita-cita bangsa sebagaimana termuat dalam mukaddimah UUD 1945.

Mengenai isu-isu pendidikan yang terkait seperti: pengajaran agama, akses untuk mendapatkan pendidikan, tiadanya diskriminasi, pembiayaan pendidikan, kurikulum, layanan pendidikan, manajemen satuan pendidikan, infrastruktur pendidikan, prestasi atas profesional pendidikan, maupun luaran pendidikan senantiasa menjadi perbincangan yang hangat. Semua terkemas dalam issu nasional maupun issu lokal. Ketidakpuasan demi ketidakpuasan atas sistem pendidikan ini versus pihak lain yang menyatakan bahwa sistem yang berlaku sudah baik dan benar menjadikan dinamika pendidikan menjadi semakin menarik untuk kita amati bersama. Kemudian didorong untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Meninjau apa yang terjadi dalam sistem pendidikan nasional, tentu tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pendidikan yang diberlakukan. Oleh karenanya menjadi relevan apabila potret pendidikan kita harus dilihat dalam bentuk das Sein dan das Sollen. Bagaimana teori, bagaimana pula kenyataannya.

Sebenarnya secara yuridis bahwa sistem pendidikan nasional telah diatur dalam berbagai ketentuan konstitusional. Baik dalam UUD 1945 maupun dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan. Di dalam mukaddimah UUD 1945, di sana telah disebutkan mengenai cita negara dibidang pendidikan yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Demikian pula, di dalam batang tubuh UUD 1945 akan dapat ditemukan mengenai kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan nasional di satu sisi dan pada sisi lain pendidikan merupakan hak warga negara.

Mengenai kewajiban negara: Pasal 31 ayat (2)-(5) berbunyi, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Demikian pula mengenai hak warga negara, tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Juga, Pasal Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan koalitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pula, Pasal 28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Landasan konstitusi tersebut masih dijabarkan lagi dalam UU No 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta berbagai peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan daerah. Di antara beberapa aturan tersebut, yang terjadi adalah: pertama, ada aturan yang secara normatif sudah bagus namun implementasinya yang buruk atau belum optimal; kedua, terdapat kontradiksi substansi norma antar peraturan perundangan; ketiga, substansi norma yang kurang bagus sehingga tidak implementasif atau implementasi di lapangan menjadi tidak bagus pula.

Misalnya, kalau konstitusi telah lama menentukan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN maupun APBD, tapi berkali-kali UU APBN telah melanggarnya. Juga, ketika konstitusi menjamin bahwa pemerintah yang menyelenggarakan dan mengusakan sistem pendidikan nasional, namun masih cukup dirasakan bahwa pembiayaan semakin mahal dan banyak warga negara yang masih kesulitan mendapatkan pendidikan.

Demikian pula, mengenai jaminan tunjangan profesi guru dan dosen sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen, sampai saat ini pun masih belum dapat segera terealisasi. Seringkali di negara ini UU disimpangi secara berjamaah hanya argumentasi masih proses dan dana negara tidak cukup. Ini sekedar contoh.

Ini tentu amat paradoks dengan kondisi bangsa yang boros, dihinggapi korupsi dimana-mana. 20 tahun yang lalu, Sumitro Djojohadikusumo menyatakan bahwa anggaran negara 30% dikorup. Terbukti saat ini, dengan keberadaan KPK, maka ternyata banyak oknum pejabat negara dan penegak hukum tersangkut korupsi. Padahal mereka juga banyak mendengungkan tentang pentingnya pendidikan. Untuk dapat memperbaiki kondisi peraturan yang secara substantif tidak sesuai dengan cita negara dan peraturan yang tumpang tindih. Tentu yang harus dilakukan adalah kembali kepada norma UUD 1945. Sebagai zeit geist bangsa semua aturan harus menyesuaikan dengan UUD 1945. Termasuk implementasinya.

UU Sisdiknas Pasal 2 telah menyatakan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan mengenai fungsi pendidikan, Pasal 3 menyatakan Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Demikian pula, pengelolaan pendidikan harus dikembangkan melalui 10 prinsip utama penyelenggaraan pendidikan yakni: nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, partisipasi atas tanggung jawab negara.

Selain itu, konsep penyelenggaraan pendidikan yang berlaku global yakni L-RAISE, yang meliputi Leadership, Relevance, Academic Atmosphere, Internal Management, Sustaniability, Efficiency, effectivity and Productivity harus senantiasa ditingkatkan untuk menuju keberhasilan daya saing dunia.

Sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia sebelum masuk kebudayaan Hindu, pendidikan diberikan langsung oleh orang tua atau orang tua-orang tua dari masyarakat setempat mengenai kehidupan spiritual moralnya dan cara hidup untuk memenuhi perekonomian mereka. Masuknya dan meluasnya kebudayaan asing yang dibawa ke Indonesia telah diserap oleh Bangsa Indonesia melalui masyarakat pendidikannya. Lembaga Pendidikan itu telah menyampaikan kebudayaan tertulis dan banyak unsur-unsur kebudayaan lainnya.

Mengenai sejarah pendidikan di Indonesia ini dimulai pada zaman berkembangnya satu agama di Indonesia. Kerajaan-kerajaan  Hindu di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera yang mulai pada abad ke-4 sesudah masehi itulah tempat mula-mula ada pendidikan yang terdapat di daerah-daerah itu. Dapat dikatakan, bahwa lembaga-lembaga pendidikan dilahirkan oleh lembaga-lembaga agama dan  mata pelajaran yang tertua adalah pelajaran tentang agama. Tanda-tanda mengenai adanya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua ditemukan pada abad ke-5 di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia didapatkan dari sumber-sumber Cina kurang lebih satu abad kemudian.

Berikut ini ada 2 macam sistem pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia :

Sistem Pendidikan di Langgar

Di setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat beribadah dimana umat Islam dapat melakukan ibadanya sesuai dengan perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola oleh seorang petugas yang disebut amil, modin atau lebai (di Sumatera). Petugas tersebut berfungsi ganda, disamping memberikan do’a pada waktu ada upacara keluarga atau desa, dapat pula berfungsi sebagai guru agama.

Sistem Pendidikan di Pesantren

Dimana murid-muridnya yang belajar diasramakan yang dinamakan pondok-pondok tersebut dibiayai oleh guru yang bersangkutan ataupun atas biaya bersama dari masyarakat pemeluk agama Islam. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah tetapi sebagian besar waktunya digunakan untuk keluar ruangan baik untuk membersihkan ruangan maupun bercocok tanam.

Pendidikan Pada Abad Ke Dua Puluh Jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan Pendudukan. Di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran-aliran untuk memberikan kepada pendudukan asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda) selama mereka menguasai Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang Bumiputera harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah menjadikan Belanda bangsa yang besar. Aliran atau paham ini dikenal sebagai Politik Etis (Etische Politiek). Gagasan tersebut dicetuskan semula olah Van Deventer pada tahun 1899 dengan mottonya “Hutang Kehormatan” (de Eereschuld). Politik etis ini diarahkan untuk kepentingan penduduk Bumiputera dengan cara memajukan penduduk asli secepat-cepatnya melalui pendidikan secara Barat.

Dalam dua dasawarsa semenjak tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah berorientasi Barat. Berbeda dengan Snouck Hurgronje yang mendukung pemberian pendidikan kepada golongan aristokrat Bumiputera, maka Van Deventer menganjurkan pemberian pendidikan Barat kepada orang-orang golongan bawah. Tokoh ini tidak secara tegas menyatakan bahwa orang dari golongan rakyat biasa yang harus didahulukan tetapi menganjurkan supaya rakyat biasa tidak terabaikan. Oleh karena itu banyak didirikan sekolah-sekolah desa yang berbahasa pengantar bahasa daerah, disamping sekolah-sekolah yang berorientasi dan berbahasa pengantar bahasa Belanda. Yang menjadi landasan dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah
Pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka

Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di Hindia Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur tersebut. Di satu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan unsur-unsur dari lapisan atas serta tenaga didik bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi dan di lain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.

Tujuan pendidikan selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan secara tegas. Tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-buruh tingkat rendahan (buruh kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian dan lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau tiga. Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga-tenaga kerja yang murah. Suatu fakta menurut hasil Komisi Pendidikan Indonesia Belanda yang dibentuk pada tahun 1928 – 1929 menunjukkan bahwa 2 % dari orang-orang Indonesia yang mendapat pendidikan barat berdiri sendiri dan lebih dari  83% menjadi pekerja bayaran serta selebihnya menganggur. Diantara yang 83% itu 45% bekerja sebagai pegawai negeri. Pada umumnya gaji pegawai negeri dan pekerja adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji-gaji Barat mengenai pekerjaan yang sama.

Mungkin hanya ini saja informasi yang dapat kami sampaikan yang dalam hal ini telah membahas mengenai Sejarah Dunia Pendidikan Di Indonesia
Terimakasih Anda telah membaca tentang
Judul: SEJARAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Ditulis Oleh Sarang Pendidikan
Semoga informasi SEJARAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA bisa memberikan manfaat bagi Anda.



Share this article :

Artikel Terkait:

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. BERITA DUNIA PENDIDIKAN - All Rights Reserved